DAFTAR KPAY

Kajian islam : Pengertian GHARAR

Posted by Yasrin on 5:17 PM



Pengertian GHARAR.


A. Pengertian:

Bahasa: bahaya atau menjadi binasa (al-jahlu, al-khathar, al-gurur, al-khida’al-ithma’ bi al-nathil=rakus dengan cara batil).

Tagrir: membawa diri pada penyesatan, bujukan atau godaan atau bahaya. Dapat pula dimaknai membawa sesuatu pada kebinasaan yang tidak diketahui sebelumnya.

Kata bendanya al-gororu membawa diri pada penyesatan, bujukan atau godaan atau bahaya. Dapat pula dimaknai membawa sesuatu pada kebinasaan yang tidak diketahui sebelumnya. Kata bendanya al-gororu 

• Dalam terminologi Ilmu Ekonomi, gharar lebih dikenal dengan ketidakpastian atau resiko (risk)
• Imam an-Nawawi gharar merupakan unsur akad yang dilarang dalam syariat Islam. Imam al-Qarafi, gharar adalah suatu akad yang tidak diketahui dengan tegas apakah apakah efek akad terlaksana atau tidak. Imam as Sarakhsi dan Ibnu Taimiyah memandang gharar dari segi adanya ketidakpastian akaibat yang ditimbul dari suatu akad.

Sementara Ibnu Qayyim al-Zauziah gharar adalah suatu objek akad yang tidak mampu diserahkan, baik objek itu ada atau tidak. Dan Ibnu Hazm memandang gharar dari segi ketidaktahuan salah satu pihak yang berakad tentang apa yang menjadi objek akad tersebut.
B. Gharar di Pandang Dari Aspek Tingkat Resikonya

- Khatar (tingkat bahaya/resiko tinggi)
• Yang dimaksud khatar adalah kuantitas ghararnya banyak, dan khatar tunduk pada hukum ijma’. Macam-macam khatar antara lain:
• Jual beli buah-buahan yang belum masak (Bai tsimar qobla an yabdu shalahiha). Jual beli ini dilarang karena akan berimpliksi pada kerugian salah satu pihak dikemudian hari yang diakibatkan oleh ketidakpastian harga pasar dan kondisi alam serta kondisi objek akad tersebut. Nabi melarang jual beli seperti ini. Dalam sabdanya, Rasulullah Saw bersabda:”Janganlah kamu melakukan jual beli terhadap buah-buahan, sampai buah-buahan itu terlihat baik (layak konsumsi)”.

Sebagai contoh dikarenakan kebutuhan mendadak seorang petani menjual cabe yang masih terlihat kuncupnya kepada seorang pedagang cabe dengan harga sekian-sekian dan keduanya deal untuk jual beli ini. Jual beli tidak diperbolehkan karena sebab tidak adanya kepastian di masa akan datang tentang keuntungan atau kerugian bagi pembeli (pedagang) dan sebaliknya.

• Jual beli tahunan (Bai sinin), artinya menmbeli (hasil) pohon selama beberapa tahun. Hadist Nabi yang diriwayatkan oleh Muslim bersabda:” Nabi telah melarang jual beli tahunan. Misalnya seorang petani menjual pohon kelapa kepada pedagang kelapa dengan akad setahun. Hal ini dilarang karena kemungkinan harga pasar pada bulan-bulan tertentu naik sehingga keuntungan yang diperoleh pedagang kelapa berlipat ganda. Di sisi lain penjual rugi.

• Bai Madhamin, Malaqih dan Habalul Habalah. Ketiga Jual beli ini mengandung unsur gharar menurut fuqaha fiqh. Madhamin adalah jual beli bibit (mani) binatang dan malaqih adalah jual beli pembuahan binatang pejantan dengan betina. Sedangkan habalul habalah adalah menjual binatang yang masih di dalam kandungan yang dikemudian hari tidak dapat dipastikan hidup atau mati, jenis kelamin laki-laki atau perempuan dan lain sebagainya.

Sehingga Nabi melarang jual beli ini dalam sebuah hadist yang berbunyi, “Nabi melarang jual beli habalul habalah, yakni sejenis jual beli yang biasa dilakukan masyarakat jahiliyah. seorang membeli seekor unta betina hingga melahirkan anak betina, kemudian aak dalam kandungan unta tersebut juga melahirkan” dan hadist dari Ibnu Umar r.a. Ia berkata: “Rasulullah Saw melarang menjual mani binatang”.

• Jual beli mulamasah dan munabadzah. Bai Mulamasah adalah jual beli dengan cara menyentuh. Sebagai contoh seorang calon pembeli mobil menyentuh mobil yang berada di dealer maka ia wajib membeli mobil tersebut tanpa mengetahui dengan jelas kualitas ataupun lainnya. Sedangkan Bai Munabadzah adalah jual beli saling lempar. Dimana seseorang melemparkan bajunya kepada orang lain dan jika orang yang dilempar itu juga melemparkan baju kepadanya maka keduanya wajib melakukan jual beli, walaupun pembeli tidak mengetahui kualitas barang yang akan dibelinya.

• Jual beli barang yang tidak mungkin dapat diserah terimakan (Bai al Hasoh). Jual beli seperti ini jelas tidak diperbolehkan karena belum adanya kejelasan barang. Misalnya jual beli ikan yang masih di sungai atau jual beli burung yang masih ada dihutan. Nabi bersabda:”Janganlah kamu menjual ikan yang masih berada di dalam air, karena itu adalah gharar”.
– Khoda’ (tingkat sedang/resiko sedang)

• Khoda’ berarti jual beli yang tingkat resikonya sedang-sedang, dimana jual beli ini terdapat unsur usaha penipuan dari pihak penjual.. Adapun contoh jual beli ini antara lain:

– Bai Najasyi adalah pembeli palsu; berpura-pura membeli akan tetapi bukan seorang pembeli. Pembeli palsu bertujuan memancing orang lain untuk membeli barang tersebut. Perbuatan ini dilarang selain karena menyakitkan hati pembeli akan tetapi juga mengandung unsur gharar. Nabi bersabda: “Rasulullah melarang jual beli dengan cara najasyi (membeli untuk memancing orang lain agar tertarik pada barang tersebut)”.

– Bai at Tasriyah adalah jual beli yang mengandung unsur menipu kepada pihak pembeli dengan menahan salah satu faktor barang agar kelihatan bagus atau baik. Misalnya, seorang penjual kambing mengikat putting susu atau tidak memerah untuk beberapa hari agar kondisi kambing tersebut terlihat gemuk, besar dan sehat.

– Bai talaqqi jalab adalah jual beli dengan mencegat penjual di tengah jalan sebelum sampai di pasar. Jual beli ini dilarang karena ada unsur penipuan dari pihak pembeli dengan membeli barang dengan harga murah sementara penjual belum tahu harga pasaran. Nabi bersabda:”Rasulullah Saw bersabda. janganlah kamu temui orang yang berkendaraan (yang membawa bahan-bahan penting ke kota), dan tidak boleh membeli barang yang dibawa seseorang yang hendak menjualnya di desa. (HR.Bukhari dan Muslim)

– Bai Khilabah adalah jual beli yang mengandung tipuan seperti menjual barang yang secara fisik bagus tetapi kualitasnya jelek.
– Mukomarah adalah Jual beli yang mengandung unsur judi. Adapun contoh-contoh mukomaroh antara lain:
• Bai ad-Dain bi-Daini adalah jual beli yang belum diketahui ukuran dan jenisnya. Misalnya, menjual dinar dengan dirham.

• Bai ma laisa ngindahu adalah menjual barang yang bukan kepunyaan penjual. Jelas jual beli ini mengandung unsur judi.

• Bai ma lam yaqbidh adalah menjual sesuatu yang belum berada di bawah penguasaan penjual. Rasulullah melarang jual beli ini, sebagaimana sabdanya, “Janganlah engkau menjual sesuatu yang tidak ada padamu”.

• adalah menjual sesuatu yang tidak diketahui memperolehnya, atau tidak mampu melakukan serah terima terhadapnya, atau tidak diketahui ukurannya.

• Asal makna al-garar adalah tidak diketahui apakah bisa memperolehnya atau tidak? Seperti burung di udara, ikan dalam air. Adapun barang yang dapat dipastikan untuk mempereolehnya dan tidak diketahui sifat-sifatnya disebut al-majhul seperti menjual sesuatu dalam bungkusnya dapat diperoleh secara pasti, akan tetapi tidak diketahui apakah itu.

• Al-Garar dan al-majhul masing-masing lebih umum dari yang lain dari satu sisi, dan lebih khusus dari sisi lain. Masing-masing terdapat secara bersamaan dan masing-masing sendiri-sendiri

• Al-Jahalah tanpa al-garar seperti membeli batu apakah jenis kaca atau batu mulia. Dengan menyaksikannya dapat dipastikan untuk memperolehnya, karena itu bukan al-garar, namun karena tidak diketahui jenisnya maka disebut al-jahalah.

• Al-Garar dan al-jahalah keduanya terjadi dalam wujud dan al-husul (wujud dan perolehan barang) jika diketahui keberadaannya. Dapat pula terjadi dalam jenis dan spicies, dalam sifat dan dalam ukuran dan dalam penentuan, pada keutuhan dan pada pecahan Al-Jahalah tanpa al-garar seperti membeli batu apakah jenis kaca atau batu mulia. Dengan menyaksikannya dapat dipastikan untuk memperolehnya, karena itu bukan al-garar, namun karena tidak diketahui jenisnya maka disebut al-jahalah.

• Al-Garar dan al-jahalah keduanya terjadi dalam wujud dan al-husul (wujud dan perolehan barang) jika diketahui keberadaannya. Dapat pula terjadi dalam jenis dan spicies, dalam sifat dan dalam ukuran dan dalam penentuan, pada keutuhan dan pada pecahan
Al-Garar dan al-jahalah ada tiga macam : Pembagian ini menurut al-Qurafi dalam al-Furuq.


1.      Banyak (kasir) dicegah secara ijma’, 2. Sedikit (qolil) boleh secara ijma’, dan 3. Garar sedang (mutawassith) terdapat perbedaan di tentang hukumnya. Apakah hukumnya disamakan dengan yang pertama atau dengan yang kedua. Jika al-garar tersebut lebih dari sedikit disamakan hukumnya dengan al-garar yang banyak, jika lebih kurang dari yang banyak disamakan hukumnya dengan al-garar yang sedikit. Inilah yang menjadi sebab-sebab silang pendapat di antara para fuqaha’ dalam bagian-bagian al-Garar dan al-Jahalah.

Dari pendapat di atas al-garar dapat dibagi menjadi: al-Garar al-kasir, al-Garar al-yasir dan al-garar al-mutawassith. Garar yang masuk dalam al-darurah (darurat) berbeda-beda dalam aplikasinya dari satu lingkungan dengan yang lain, dari satu masa ke masa yang lain, bahkan berbeda karena perbedaan cara pandang terhadapnya.

• Al-Garar memiliki tingkatan-tingkatan :

• al-Garar al-yasir (garar ringan) biasanya garar tingkatan ini ditolerasi karena selalu lekat dalam transaksi masyarakat.

• al-Garar al-Fakhisy (garar berat) yang berakibat merugikan kepentingan salah satu pihak, atau masing-masing pihak dalam akad. Garar semacam ini biasanya tidak dapat ditoleransi. Terdapat tingkatan-tingkatan lagi diantara dua tingkatan ini yang dipertentangkan oleh para fuqaha’ . Sebagian menyamakan hukumnya dengan yang pertama yaitu dibatalkan oleh syariah, sedangkan kedua garar dalam lingkaran yang dimaafkan (alma’fu ‘anhu).

• Yusuf Kamal membagi al-garar berdasarkan dampak yang diakibatkan. Pembagian seperti ini lebih mudah dipahami khususnya pada zaman sekarang:

• Pertama al-Khathar (bahaya atau resiko). Hal ini karena barang yang menjadi obyek jual beli tergolong ma’dum atau tidak dapat dilakukan serah terima terhadapnya.

• Kedua: al-Khida’ (penipuan). Menurut Ibn Hazam al-khida’ adalah Pembeli tidak mengetahui apa yang dibeli, atau poenjual tidak mengetahui barang yang dijual. Al-Shan’ani mengatakan al-khida’ adalah tempat dugaan tidak relanya pihak yang berakad jika terjadi. Dengan demikian dikategorikan aakilu al-mal al-bathil. Al-khida’ disini masuk dalam al-gurur (banyak tipuan. Perbedaan antara al-garar dan al-gurur, al-gurur adalah akibat dari perkataan, perbuatan atau sikap yang diambil seseorang untuk melakukan penipuan terhadap yang lain.

Adapun al-garar tidak terdapat khadi’ah (penipuan) dari salah satu pihak yang berakad. Karena masing-masing pihak yang berakad tidak mengetahui (jahilan) perkara yang sesungguhnya dalam aqad al-garar. Jika seseorang membeli unta yang hilang dari seorang pembeli, dan dia mengetahui tempatnya, maka ia menipunya. Akad ini termasuk al-gurur. Apabila dia membelinya dan tidak mengetahui tempatnya, akad ini tergolong akad garar.


Nama Anda
New Johny WussUpdated: 5:17 PM

0 komentar:


jadi penulis di literabook (klik gambar)

KPAY Squad

KPAY Squad
volunteer

Total Pembaca

Powered by Blogger.

terjemah bahasa

CB