Pengertian GHARAR.
A. Pengertian:
Bahasa: bahaya atau menjadi binasa (al-jahlu, al-khathar,
al-gurur, al-khida’al-ithma’ bi al-nathil=rakus dengan cara batil).
Tagrir: membawa diri pada penyesatan, bujukan atau godaan
atau bahaya. Dapat pula dimaknai membawa sesuatu pada kebinasaan yang tidak
diketahui sebelumnya.
Kata bendanya al-gororu membawa diri pada penyesatan,
bujukan atau godaan atau bahaya. Dapat pula dimaknai membawa sesuatu pada
kebinasaan yang tidak diketahui sebelumnya. Kata bendanya al-gororu
• Dalam terminologi Ilmu Ekonomi, gharar lebih dikenal
dengan ketidakpastian atau resiko (risk)
• Imam an-Nawawi gharar merupakan unsur akad yang dilarang
dalam syariat Islam. Imam al-Qarafi, gharar adalah suatu akad yang tidak
diketahui dengan tegas apakah apakah efek akad terlaksana atau tidak. Imam as
Sarakhsi dan Ibnu Taimiyah memandang gharar dari segi adanya ketidakpastian
akaibat yang ditimbul dari suatu akad.
Sementara Ibnu Qayyim al-Zauziah gharar adalah suatu objek
akad yang tidak mampu diserahkan, baik objek itu ada atau tidak. Dan Ibnu Hazm
memandang gharar dari segi ketidaktahuan salah satu pihak yang berakad tentang
apa yang menjadi objek akad tersebut.
B. Gharar di Pandang Dari Aspek Tingkat Resikonya
- Khatar (tingkat bahaya/resiko tinggi)
• Yang dimaksud khatar adalah kuantitas ghararnya banyak,
dan khatar tunduk pada hukum ijma’. Macam-macam khatar antara lain:
• Jual beli buah-buahan yang belum masak (Bai tsimar qobla
an yabdu shalahiha). Jual beli ini dilarang karena akan berimpliksi pada
kerugian salah satu pihak dikemudian hari yang diakibatkan oleh ketidakpastian
harga pasar dan kondisi alam serta kondisi objek akad tersebut. Nabi melarang
jual beli seperti ini. Dalam sabdanya, Rasulullah Saw bersabda:”Janganlah kamu
melakukan jual beli terhadap buah-buahan, sampai buah-buahan itu terlihat baik
(layak konsumsi)”.
Sebagai contoh dikarenakan kebutuhan mendadak seorang petani
menjual cabe yang masih terlihat kuncupnya kepada seorang pedagang cabe dengan
harga sekian-sekian dan keduanya deal untuk jual beli ini. Jual beli tidak
diperbolehkan karena sebab tidak adanya kepastian di masa akan datang tentang
keuntungan atau kerugian bagi pembeli (pedagang) dan sebaliknya.
• Jual beli tahunan (Bai sinin), artinya menmbeli (hasil)
pohon selama beberapa tahun. Hadist Nabi yang diriwayatkan oleh Muslim
bersabda:” Nabi telah melarang jual beli tahunan. Misalnya seorang petani
menjual pohon kelapa kepada pedagang kelapa dengan akad setahun. Hal ini
dilarang karena kemungkinan harga pasar pada bulan-bulan tertentu naik sehingga
keuntungan yang diperoleh pedagang kelapa berlipat ganda. Di sisi lain penjual
rugi.
• Bai Madhamin, Malaqih dan Habalul Habalah. Ketiga Jual
beli ini mengandung unsur gharar menurut fuqaha fiqh. Madhamin adalah jual beli
bibit (mani) binatang dan malaqih adalah jual beli pembuahan binatang pejantan
dengan betina. Sedangkan habalul habalah adalah menjual binatang yang masih di
dalam kandungan yang dikemudian hari tidak dapat dipastikan hidup atau mati,
jenis kelamin laki-laki atau perempuan dan lain sebagainya.
Sehingga Nabi melarang jual beli ini dalam sebuah hadist
yang berbunyi, “Nabi melarang jual beli habalul habalah, yakni sejenis jual
beli yang biasa dilakukan masyarakat jahiliyah. seorang membeli seekor unta betina
hingga melahirkan anak betina, kemudian aak dalam kandungan unta tersebut juga
melahirkan” dan hadist dari Ibnu Umar r.a. Ia berkata: “Rasulullah Saw melarang
menjual mani binatang”.
• Jual beli mulamasah dan munabadzah. Bai Mulamasah adalah
jual beli dengan cara menyentuh. Sebagai contoh seorang calon pembeli mobil
menyentuh mobil yang berada di dealer maka ia wajib membeli mobil tersebut
tanpa mengetahui dengan jelas kualitas ataupun lainnya. Sedangkan Bai
Munabadzah adalah jual beli saling lempar. Dimana seseorang melemparkan bajunya
kepada orang lain dan jika orang yang dilempar itu juga melemparkan baju
kepadanya maka keduanya wajib melakukan jual beli, walaupun pembeli tidak mengetahui
kualitas barang yang akan dibelinya.
• Jual beli barang yang tidak mungkin dapat diserah
terimakan (Bai al Hasoh). Jual beli seperti ini jelas tidak diperbolehkan
karena belum adanya kejelasan barang. Misalnya jual beli ikan yang masih di
sungai atau jual beli burung yang masih ada dihutan. Nabi bersabda:”Janganlah
kamu menjual ikan yang masih berada di dalam air, karena itu adalah gharar”.
– Khoda’ (tingkat sedang/resiko sedang)
• Khoda’ berarti jual beli yang tingkat resikonya
sedang-sedang, dimana jual beli ini terdapat unsur usaha penipuan dari pihak
penjual.. Adapun contoh jual beli ini antara lain:
– Bai Najasyi adalah pembeli palsu; berpura-pura membeli
akan tetapi bukan seorang pembeli. Pembeli palsu bertujuan memancing orang lain
untuk membeli barang tersebut. Perbuatan ini dilarang selain karena menyakitkan
hati pembeli akan tetapi juga mengandung unsur gharar. Nabi bersabda:
“Rasulullah melarang jual beli dengan cara najasyi (membeli untuk memancing
orang lain agar tertarik pada barang tersebut)”.
– Bai at Tasriyah adalah jual beli yang mengandung unsur
menipu kepada pihak pembeli dengan menahan salah satu faktor barang agar
kelihatan bagus atau baik. Misalnya, seorang penjual kambing mengikat putting
susu atau tidak memerah untuk beberapa hari agar kondisi kambing tersebut
terlihat gemuk, besar dan sehat.
– Bai talaqqi jalab adalah jual beli dengan mencegat penjual
di tengah jalan sebelum sampai di pasar. Jual beli ini dilarang karena ada
unsur penipuan dari pihak pembeli dengan membeli barang dengan harga murah
sementara penjual belum tahu harga pasaran. Nabi bersabda:”Rasulullah Saw
bersabda. janganlah kamu temui orang yang berkendaraan (yang membawa
bahan-bahan penting ke kota), dan tidak boleh membeli barang yang dibawa
seseorang yang hendak menjualnya di desa. (HR.Bukhari dan Muslim)
– Bai Khilabah adalah jual beli yang mengandung tipuan
seperti menjual barang yang secara fisik bagus tetapi kualitasnya jelek.
– Mukomarah adalah Jual beli yang mengandung unsur judi.
Adapun contoh-contoh mukomaroh antara lain:
• Bai ad-Dain bi-Daini adalah jual beli yang belum diketahui
ukuran dan jenisnya. Misalnya, menjual dinar dengan dirham.
• Bai ma laisa ngindahu adalah menjual barang yang bukan
kepunyaan penjual. Jelas jual beli ini mengandung unsur judi.
• Bai ma lam yaqbidh adalah menjual sesuatu yang belum
berada di bawah penguasaan penjual. Rasulullah melarang jual beli ini,
sebagaimana sabdanya, “Janganlah engkau menjual sesuatu yang tidak ada padamu”.
• adalah menjual sesuatu yang tidak diketahui memperolehnya,
atau tidak mampu melakukan serah terima terhadapnya, atau tidak diketahui
ukurannya.
• Asal makna al-garar adalah tidak diketahui apakah bisa
memperolehnya atau tidak? Seperti burung di udara, ikan dalam air. Adapun
barang yang dapat dipastikan untuk mempereolehnya dan tidak diketahui
sifat-sifatnya disebut al-majhul seperti menjual sesuatu dalam bungkusnya dapat
diperoleh secara pasti, akan tetapi tidak diketahui apakah itu.
• Al-Garar dan al-majhul masing-masing lebih umum dari yang
lain dari satu sisi, dan lebih khusus dari sisi lain. Masing-masing terdapat
secara bersamaan dan masing-masing sendiri-sendiri
• Al-Jahalah tanpa al-garar seperti membeli batu apakah
jenis kaca atau batu mulia. Dengan menyaksikannya dapat dipastikan untuk
memperolehnya, karena itu bukan al-garar, namun karena tidak diketahui jenisnya
maka disebut al-jahalah.
• Al-Garar dan al-jahalah keduanya terjadi dalam wujud dan
al-husul (wujud dan perolehan barang) jika diketahui keberadaannya. Dapat pula
terjadi dalam jenis dan spicies, dalam sifat dan dalam ukuran dan dalam
penentuan, pada keutuhan dan pada pecahan Al-Jahalah tanpa al-garar seperti
membeli batu apakah jenis kaca atau batu mulia. Dengan menyaksikannya dapat
dipastikan untuk memperolehnya, karena itu bukan al-garar, namun karena tidak
diketahui jenisnya maka disebut al-jahalah.
• Al-Garar dan al-jahalah keduanya terjadi dalam wujud dan
al-husul (wujud dan perolehan barang) jika diketahui keberadaannya. Dapat pula
terjadi dalam jenis dan spicies, dalam sifat dan dalam ukuran dan dalam
penentuan, pada keutuhan dan pada pecahan
Al-Garar dan al-jahalah ada tiga macam : Pembagian ini
menurut al-Qurafi dalam al-Furuq.
1. Banyak (kasir) dicegah secara ijma’,
2. Sedikit (qolil) boleh secara ijma’, dan 3. Garar sedang (mutawassith)
terdapat perbedaan di tentang hukumnya. Apakah hukumnya disamakan dengan yang
pertama atau dengan yang kedua. Jika al-garar tersebut lebih dari sedikit
disamakan hukumnya dengan al-garar yang banyak, jika lebih kurang dari yang
banyak disamakan hukumnya dengan al-garar yang sedikit. Inilah yang menjadi
sebab-sebab silang pendapat di antara para fuqaha’ dalam bagian-bagian al-Garar
dan al-Jahalah.
Dari pendapat di atas al-garar dapat dibagi menjadi:
al-Garar al-kasir, al-Garar al-yasir dan al-garar al-mutawassith. Garar yang
masuk dalam al-darurah (darurat) berbeda-beda dalam aplikasinya dari satu
lingkungan dengan yang lain, dari satu masa ke masa yang lain, bahkan berbeda
karena perbedaan cara pandang terhadapnya.
• Al-Garar memiliki tingkatan-tingkatan :
• al-Garar al-yasir (garar ringan) biasanya garar tingkatan
ini ditolerasi karena selalu lekat dalam transaksi masyarakat.
• al-Garar al-Fakhisy (garar berat) yang berakibat merugikan
kepentingan salah satu pihak, atau masing-masing pihak dalam akad. Garar
semacam ini biasanya tidak dapat ditoleransi. Terdapat tingkatan-tingkatan lagi
diantara dua tingkatan ini yang dipertentangkan oleh para fuqaha’ . Sebagian
menyamakan hukumnya dengan yang pertama yaitu dibatalkan oleh syariah,
sedangkan kedua garar dalam lingkaran yang dimaafkan (alma’fu ‘anhu).
• Yusuf Kamal membagi al-garar berdasarkan dampak yang
diakibatkan. Pembagian seperti ini lebih mudah dipahami khususnya pada zaman
sekarang:
• Pertama al-Khathar (bahaya atau resiko). Hal ini karena
barang yang menjadi obyek jual beli tergolong ma’dum atau tidak dapat dilakukan
serah terima terhadapnya.
• Kedua: al-Khida’ (penipuan). Menurut Ibn Hazam al-khida’
adalah Pembeli tidak mengetahui apa yang dibeli, atau poenjual tidak mengetahui
barang yang dijual. Al-Shan’ani mengatakan al-khida’ adalah tempat dugaan tidak
relanya pihak yang berakad jika terjadi. Dengan demikian dikategorikan aakilu
al-mal al-bathil. Al-khida’ disini masuk dalam al-gurur (banyak tipuan. Perbedaan
antara al-garar dan al-gurur, al-gurur adalah akibat dari perkataan, perbuatan
atau sikap yang diambil seseorang untuk melakukan penipuan terhadap yang lain.
Adapun al-garar tidak terdapat khadi’ah (penipuan) dari
salah satu pihak yang berakad. Karena masing-masing pihak yang berakad tidak
mengetahui (jahilan) perkara yang sesungguhnya dalam aqad al-garar. Jika
seseorang membeli unta yang hilang dari seorang pembeli, dan dia mengetahui
tempatnya, maka ia menipunya. Akad ini termasuk al-gurur. Apabila dia
membelinya dan tidak mengetahui tempatnya, akad ini tergolong akad garar.
0 komentar:
Post a Comment